Langsung ke konten utama

KONSEP KONSERVASI

               Konsep konservasi pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roosevelt pada tahun 1902. Konservasi berasal dari kata “conservation”, bersumber dari kata con (together) dan servare (to keep, to save) yang dapat diartikan sebagai upaya memelihara milik kita (to keep, to save what we have), dan menggunakan milik tersebut secara bijak (wise use).
Secara leksikal, konservasi dimaknai sebagai tindakan untuk melakukan perlindungan atau pengawetan; sebuah kegiatan untuk melestarikan sesuatu dari kerusakan, kehancuran, kehilangan, dan sebagainya (Margareta, et al. 2010). Menurut Danisworo (1991), konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya. Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dari aspek proses disain perkotaan, konservasi harus memproteksi keberadaan lingkungan dan ruang kota yang merupakan tempat bangunan atau kawasan  bersejarah dan juga aktivitasnya (Shirvani, 1985).

Selain definisi yang telah diungkapkan diatas, adapun tujuan dari konservasi diantaranya :
• Untuk memelihara maupun melindungi tempat-tempat yang dianggap berharga supaya tidak hancur, berubah atau punah. 
Contoh : Preservasi bangunan kota lama seperti Museum Fatahillah di Jakarta. Museum Fatahillah termasuk bangunan pemugaran kelas A yang seluruh elemen fasade harus dipertahankan sesuai dengan kondisi aslinya. Jika terjadi perubahan dan didapati data asli maka harus di kembalikan ke bentuk aslinya.
Gambar 1. Museum Fatahillah
Sumber : (https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Gouverneurskantoor_100415.jpg), pada 30 Maret 2018
• Untuk menekankan kembali pada pemakaian bangunan lama supaya tidak terlantar, disini maksudnya apakah dengan cara menghidupkan kembali fungsi yang sebelumnya dari bangunan tersebut atau mengganti fungsi lama dengan fungsi baru yang memang diperlukan.
Contoh : Revitalisasi bangunan kota lama seperti Café Batavia di Jakarta. Café Batavia yang didirikan tahun 1830  menurut sejarah memiliki fungsi sebagai hunian dan kantor.  Kini divitalkan kembali dengan fungsi yang berbeda yakni sebagai area komersil berupa restoran.
Gambar 2. Café Batavia
Sumber  : (https://wisatasejarahjakartablog.wordpress.com/cafe-batavia/), pada 30 Maret 2018
• Untuk melindungi benda-benda sejarah atau benda jaman purbakala dari kehancuran atau kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam, mikro organisme dan kimiawi.
Contoh : Konservasi bangunan kota lama seperti Lawang Sewu di Semarang.  Lawang Sewu yang didirikan tahun 1904 mengalami peristiwa panjang dan menjadi saksi sejarah peperangan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena dimakan usia, beberapa bagian bangunan memiliki kerusakan baik secara mekanis (pecah atau rapuh), fisis (cat yang mengelupas), khemis dan bio khemis (aktifitas hewan) sehingga memerlukan perbaikan untuk mempertahankan bangunan Lawang Sewu.
Gambar 3. Lawang Sewu
Sumber : (http://reyhanzidnyy.blogspot.co.id/2016/03/konservasi-arsitektuk-bangunan-lawang.html) , pada 27 Maret 2018
• Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini.
• Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu, tercermin dalam obyek pelestarian.
• Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi.

Sumber dan Referensi
http://www.pengertianku.net/2015/08/pengertian-konservasi-dan-tujuannya-serta-manfaatnya.html, diakses 26 Maret 2018
https://raditmahindro.blogspot.co.id/2016/12/hotel-indonesia-history.html, diakses 26 Maret 2018
http://dibalik-kaca.blogspot.co.id/2014/11/47-tahun-berdirinya-hotel-indonesia.html, diakses 26 Maret 2018
https://www.scribd.com/document/359204245/Konservasi-Arsitektur, diakses 26 Maret 2018
http://reyhanzidnyy.blogspot.co.id/2016/03/konservasi-arsitektuk-bangunan-lawang.html, diakses 27 Maret 2018
http://vansugeng.blogspot.co.id/2016/12/tipologi-bangunan-perkantoran.html), diakses 27 Maret 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arsitektur Bioklimatik

Arsitektur Bioklimatik Definisi Arsitektur Bioklimatik Arsitektur bioklimatik adalah suatu konsep terpadu pada rancangan bangunan dimana sistim struktur, ruang dan konstruksi bangunan tersebut dapat menjamin adanya kondisinyaman bagi penghuninya. Penggunaan perangkat elektro-mekanik dan energi tak terbarukan adalah seminimal mungkin, sebaliknya memaksimalkan pemanfaatan energidari alam sekitar bangunan tersebut. Dengan demikian, maka pendekatan bioklimatik pada desain arsitektur pada hakekatnya bertitik tolak dari dua hal fundamental untuk menentukan strategi desain yang responsif terhadap lingkungan global yaitu kondisikenyamanan manusia dan penggunaan energi secara pasif. Arsitektur Bioklimatik juga dikatakan sebagai cabang dari arsitektur hijau (Green Architecture) yang diterapkan dalam kota dengan mengedepankan sistim alami bagi kebutuhan ventilasi dan pencahayaan bangunan. Perkembangan Arsitektur Bioklimatik Perkembangan Arsitektur Bioklimatik

ISTIMEWA! RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO

ISTIMEWA! RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO Indonesia, merupakan negara dengan ribuan pulau didalamnya. Memiliki sejuta pesona yang mampu menghipnotis mata wisatawan dari segala penjuru dunia. Mampu memukau dengan keindahan dari keberagaman yang terdapat di dalamnya. Untuk kritik arsitektur terhadap bangunan pesisir maka saya akan membahas mengenai rumah tradisional dari suku Bajo. Sebuah suku yang terdapat di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.   Menetap di wilayah ini semenjak abad ke XVI. Mereka termasuk suku bangsa Proto Malayan yang datang ke wilayah Asia Tenggara ini sejak 2000 tahun Sebelum Masehi. Berasal dari daerah China Selatan, mereka sempat bermukim di daratan Indochina dan bermigrasi ke daerah Semenanjung Malaysia dan akhirnya menyebar ke seluruh wilayah Asia Tenggara, termasuk ke wilayah mereka sekarang ini di Sulawesi Tenggara. Selain di Sulawesi Tenggara, pemukiman orang Bajo juga banyak di daerah-daerah lain di Sulawesi. Suku Bajo disebut sebag

Kritik Arsitektur Terhadap Bangunan ‘Gedung Bank BNI 46’ Titik Nol Yogyakarta

Kritik Arsitektur Terhadap Bangunan ‘Gedung Bank BNI 46’ Titik Nol Yogyakarta Kawasan Titik Nol berada di pusat Kota Yogyakarta. Sebuah kawasan yang menjadi salah satu tempat wajib bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta.   Perannya sebagai pusat heritage di Kota Yogyakarta menjadikan kawasan Titik Nol sebagai cagar budaya dengan arsitektur Indis didalamnya. Bentuk bangunan yang tetap dipertahankan menciptakan kesan yang kental pada zamannya hingga kini walaupun, dewasa kini beberapa bangunan beralih fungsi menyesuaikan perkembangan zaman.  Pada awalnya kawasan titik nol dikenal sebagai ‘Simpang Air Mancur’ dikarenakan sebelum tahun 1996 terdapat air mancur ditengah simpang tersebut. Simpang air mancur tersebut merupakan pertemuan antar empat ruas jalan, yaitu : Jalan Jenderal Ahmad Yani di sisi utara simpang (dari arah Jalan Malioboro); Jalan Trikora (dari arah Alun-Alun Kraton) di selatan simpang; Jalan Panembahan Senopati di sisi timur simpang dan Ja